“Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala” Luk 10:3
Kalau seseorang membuat rawon, sebenarnya di manakah esensi dari rawon tsb.? Ada pada dagingnya atau pada kuahnya? Jawabannya pada kuahnya, karena kalau kuahnya mempunyai rasa rawon tanpa daging, orang masih berkata, “Oh ini kuah rawon tapi rupanya dagingnya habis.” Namun kuah rawon masih terdiri dari air dan bumbu rawon. Yang paling esensi menentukan rasa, tentu saja pada bumbunya. Jadi esensi dari rawon ada pada bumbunya. Dengan kata lain bukanlah rawon kalau tidak menggunakan bumbu rawon. Begitu pula halnya dengan esensi misi. Esensi misi berbicara tentang hal-hal penting yang harus ada agar suatu misi itu terjadi. Apa saja esensi misi itu?
1. Misi dimulai di dalam hati Allah sendiri. Kata “Aku” dalam ayat di atas merujuk pada diri Allah. Jadi sesungguhnya misi memang dimulai dari hati Allah yaitu hati yang penuh dengan belas kasihan, hati yang tidak rela melihat manusia hidup dalam dosa dan terancam masuk dalam kebinasaan kekal di neraka. Di satu sisi Allah adalah Allah yang maha suci, sehingga dosa tidak bisa ada dan mendekatinya. Di sisi lain Allah adalah maha adil sehingga setiap dosa harus dihukum tanpa terkecuali, sehingga jelaslah bahwa upah dosa adalah maut, artinya mati kekal di neraka; namun demikian Allah juga maha kasih sehingga Ia mengutus Yesus untuk mati bagi kita di atas kayu salib untuk menebus dosa seisi dunia ini. Jadi misi adalah inisiatif Allah (Misio Dei) yang dimulai dari hati Allah yang penuh dengan belas kasihan.
Karenanya sebagaimana Allah mengutus Tuhan Yesus, demikian pulalah Tuhan mengutus kita, yaitu orang-orang yang juga mempunyai kasih seperti Yesus, kasih bagi yang terhilang, tertindas, miskin dan terlantar. Sewaktu ada seorang misionaris di pedalaman Papua mati terbunuh dan dimakan oleh orang-orang Papua yg masih kanibal, apa yang menjadi komentar dari istri misionaris tersebut? Ia berkata, kalau anakku besar, aku rindu ia juga diutus melayani ke Papua! Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Karena ia memiliki kasih Kristus yang dari kalvari; kasih yang masih bisa berkata “ampunilah mereka ya Bapa, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”; kasih yang masih bisa memperhatikan orang lain di tengah sengsara yang berat dan Ia berkata “Ini ibumu” dan pada ibunya “Ibu inilah anakmu”.
2. Misi menantang bahaya, penuh pengurbanan dan harus memberi. Karena itu dikatakan bahwa Tuhan mengutus umat-Nya seperti anak domba di tengah-tengah serigala. Jelas ini adalah situasi yang sangat tidak enak. Serigala adalah salah satu musuh yang selalu mengincar untuk membunuh dan memangsanya. Begitu pula dalam pekerjaan misi selalu ada musuh-musuh yaitu roh-roh jahat maupun orang-orang yang berniat jahat (Ef. 6:12; 2 Tes. 3:1-3). Suatu kali, seorang pelayan Tuhan yang melayani di Sumba, mendengar ada suara ketukan di pintu, ia membuka pintu, tidak ada siapapun di luar, lalu ia bermaksud memeriksa keluar, apa yang terjadi? Tiba-tiba kakinya dipagut ular berbisa berwarna merah. Ia menjerit kesakitan dan ular pun pergi, lalu seseorang datang menolongnya. Namun bisa ular mulai bekerja, kakinya mulai bengkak. Hal yang menyulitkan adalah sarana transportasi sangat terbatas, harus menunggu keesokan harinya baru bisa dibawa ke rumah sakit. Setelah diperiksa dokter memastikan harus diamputasi! Pimpinan tim di Sumba minta waktu untuk memikirkannya dan mengabarkan hal ini ke rekan-rekan pendoa di Salatiga. Seluruh tim berdoa. Dan Tuhan menunjukkan bahwa ular merah itu --yang dalam budaya Sumba kerap kali terkait dengan perdukunan-- berhubungan dengan kuasa jahat. Akhirnya dilakukan doa peperangan rohani untuk mengusir semua pekerjaan roh jahat tsb. Mukjizat pun datang, amputasi batal dan kesembuhan terjadi. Haleluyah.
Memberi diri, berkurban dan menantang bahaya adalah esensi dari misi. Kecenderungan manusia adalah ingin menerima saja. Semua orang bertanya apa yang akan kuterima bila mengikut Tuhan? Menerima berkat Tuhan tidaklah dosa, tetapi pengajaran yang menitik beratkan pada menerima berkat akan menyebabkan orang Kristen tidak menjadi dewasa dan cenderung akhirnya menjadi orang yang egois, orientasi hidupnya ke dalam (inward looking) dan kalau dibiarkan terus bisa menjadi orang Kristen karnal/kedagingan. Semua untukku, untukku dan tidak ada yang untukmu. Sebaliknya Paulus berkata “tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus” (Flp. 3:7). Ini seharusnya hidup Kristen, orientasi hidupnya bukan lagi untukku, tetapi yg penting bagaimana hidup untuk Kristus/ karena Kristus, mengejar apa yang menyenangkan Tuhan sekalipun untuk itu kadang harus berkurban, meninggalkan yang sifatnya fana dan mengejar apa yang kekal.
3. Misi berarti suatu tindakan, pergilah. Misi tidak bisa berdiam diri, harus berani melangkah sebagaimana pepatah berkata seribu langkah dimulai dengan langkah pertama. Kerap kali orang mulai berdoa untuk pekerjaan misi dan akhirnya orang yang berdoa itulah yang akan mengambil keputusan untuk pergi melakukan misi.
Setiap keputusan melakukan pekerjaan misi selalu membutuhkan keberanian. Tanpa keberanian untuk bertindak maka tidak ada misi. Bukan keberanian yang bodoh, tapi keberanian karena melakukan apa yang benar, sekalipun seakan rugi secara manusia. Mengapa? Karena ada bahaya menanti, ada tantangan dan sepertinya tidak ada keuntungan secara materi. Itulah sebabnya banyak orang berkata bahwa pelayanan ke desa, ke pulau-pulau terpencil adalah suatu pelayanan yang mulia, karena lebih jelas tidaklah mengharapkan keuntungan materi sedikitpun. Kesaksian seorang pemuda yang telah bertahun-tahun mendoakan suatu daerah, dengan penuh cucuran air mata dan ia tidak puas, ia ingin melangkah dan akhirnya ia bertindak.
Ya memang misi haruslah bertindak. Ini adalah bagian yang paling sulit dan krusial. Sebuah tindakan didahului oleh keputusan, tapi keputusan saja bukanlah tindakan. Suatu keputusan haruslah kemudian diberi prioritas dan kemudian dijadwalkan serta akhirnya dilakukan.
4. Misi adalah kebersamaan dalam Tubuh Kristus. Kalau ayat tersebut di atas tidak dilengkapi dengan tanda baca berupa koma, huruf besar yang menyatakan bahwa itu Tuhan yang dimaksud serta tanda seru, maka kalimat tsb. bisa disalahartikan dan tidak mencapai tujuan. Demikian juga dengan esensi misi, selain inisiatif Tuhan dan orang yang bersedia pergi/bertindak serta siap menantang bahaya, berkurban dan memberi diri, maka masih dibutuhkan unsur keempat yaitu kebersamaan Tubuh Kristus untuk melengkapi esensi misi tsb.
Doa bukanlah misi, tetapi misi tidak berhasil tanpa dukungan doa, makanya kemudian ada istilah doa misi. Pendanaan bukanlah misi, tapi misi tidak berjalan dengan lancar tanpa adanya uang, itu sebabnya ada dana misi. Begitu pula kunjungan misi yang biasa disebut mission trip mempunyai peran yang khusus pula dalam kebersamaan misi. Walaupun doa, dana, dan kunjungan bukanlah misi itu sendiri, tetapi misi tidak bisa berhasil dan berlipat ganda tanpanya; karena misi tidak bisa berdiri sendiri, ia perlu kebersamaan. Melalui adanya dukungan doa maka belenggu-belenggu dosa dipatahkan, iblis dikalahkan dan orang-orang dimerdekakan. Melalui dukungan dana pekerjaan misi semakin cepat dan semakin luas menjangkau kehidupan banyak orang. Melalui kunjungan misi maka para misionaris di lapangan dikuatkan dan disegarkan. Salah satu tantangan utusan Injil adalah perasaan sepi, sendiri dan perasaan tidak diperdulikan. Hal-hal inilah yang telah membuat Elia menjadi lemah. Ia berkata kepada Tuhan “Tinggal aku sendiri Tuhan yang menyembah Engkau”, padahal sesungguhnya masih ada 7000 orang lain. Mengapa demikian? Karena merasa sendiri dan tidak ada yang menguatkan. Berbeda dengan Daud, sewaktu ia dalam kelemahan ketika dikejar oleh Saul, maka Yonatan datang menemui dia, menguatkan dan berkata bahwa Tuhan menyertai Daud, Saul tidak akan bisa menangkap Daud dan pasti akhirnya Daud akan memerintah sebagai raja. Yonatan mengunjungi Daud untuk menguatkan kepercayaannya pada Tuhan (1 Sam 23:16-17).
(dari BeACh News edisi 03 Tahun 2016)