Puncak khotbah Stefanus diarahkan untuk menjawab tuduhan orang Yahudi bahwa Stefanus menghina bait Allah dan sesumbar bahwa Yesus akan menghancurkannya (6:13-14). Pokok persoalannya ada pada pemahaman sempit akan bait Allah bahkan cenderung memberhalakannya.
Stefanus meluruskan makna kehadiran kemah suci yang melambangkan kehadiran Allah memerintah umat-Nya pada masa di padang gurun sampai dengan masuk ke negeri perjanjian (ay. 44-45). Namun, setelah Salomo, putra Daud mendapat izin membangun bait Allah yang permanen itu, serta menahbiskannya sebagai pusat ibadah umat Israel, terjadi perubahan pemahaman kehadiran rumah tersebut. Seolah-olah rumah kudus itu menjadi jaminan bahwa umat Israel disertai dan diberkati Allah. Hal ini justru menghalangi umat untuk mengenal Allah dengan kedaulatan-Nya. Dengan menunjuk diri-Nya sebagai bait Allah sejati, Yesus mendobrak pemahaman keliru tersebut (Yoh. 2:19-21).
Stefanus menutup khotbahnya itu dengan tuduhan keras bahwa mereka, keturunan nenek moyang Israel yang sama keras kepalanya, dari zaman ke zaman menolak bahkan membunuh nabi-nabi yang diutus Allah dan sekarang ini menolak Anak-Nya yang adalah Allah sendiri.
Walaupun keras, khotbah Stefanus bukan tuduhan ngawur melainkan berdasarkan fakta Alkitabiah dan sejarah. Beranikah kamu menyatakan kebenaran, walau tidak enak didengar tetapi perlu?